PERSOALAN pangan,
khususnya daging sapi, kini kembali mencuat ke permukaan. Mencuatnya
kasus ini, sekarang lebih dipicu oleh kasus suap kuota impor daging sapi
yang melibatkan petinggi parpol.
Padahal sebelum kasus suap ini
mencuat, persoalan daging sapi sudah pernah menghiasi halaman media
massa, yakni kenaikan harga daging sapi yang menyulut sekitar 12.000
pedagang daging se-jabodetabek mogok berjualan selama empat hari untuk
memprotes tingginya harga dari rumah potong hewan (RPH) pada pertengahan
November 2012 lalu.
Pada akhir tahun 2012, pedagang daging sapi di
pasar pasar tradisional di Jakarta juga sudah mengancam akan melakukan
mogok lagi jika harga daging sapi tetap tinggi.
Selama tahun 2012,
harga daging sapi sudah naik sangat tinggi. Pada awal tahun 2012 harga
daging sapi sekitar Rp 65 ribu per kg. Mendekati hari raya idul fitri,
harga daging naik menjadi Rp 80-85 ribu per kg. Menjelang akhir tahun,
harga daging melonjak menjadi 90-95 ribu perkg. Bisa dibayangkan saat
lebaran idul fitri 2013 nanti, harga daging sapi bisa menyentuh 125 ribu
per kg.
Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurti, menilai harga
daging sapi di Indonesia termasuk yang paling mahal di dunia. Menurut
data Bank Dunia, harga daging sapi rata-rata di Indonesia pada bulan
Desember 2012 mencapai 9,76 dollar AS, sementara di Malaysia hanya 4,3
dollar AS, Thailand 4,2 dollar AS, Australia 4,2 dollar AS, Jepang 3,9
dollar AS, Jerman 4,3 dollar AS, dan India 7,4 dollar AS.
Mahalnya
harga daging sapi ini, disamping disinyalir karena adanya permainan di
antara importir daging sapi dengan berupaya mengendalikan harga, disisi
lain juga disebabkan minimnya pasokan di pasar. Menurut Menteri
Pertanian Suswono, harga daging sapi lokal melambung karena kendala
biaya mahal transportasi.
Pasokan daging di Jakarta sebenarnya bisa
dipenuhi dari hewan ternak yang ada di Nusa Tenggara Timur (NTT) atau
Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun karena ongkos transportasi dari sana ke
Jakarta lebih mahal dibanding mendatangkan daging dari Darwin,
Australia, maka pemerintah lebih memilih untuk mengimpornya. Oleh
karenanya, akan lebih murah mendatangkan daging impor dibandingkan
mendatangkan dari wilayah Indonesia.
Dibanding negara lain, konsumsi
daging sapi bangsa Indonesia masih rendah, yakni 1,87 kilogram per
kapita per tahun. Dari konsumsi yang rendah itu dibutuhkan 384.000 ton
daging sapi per tahun. Jumlah itu 85 persen dipenuhi dari produksi
domestik dan sisanya impor. Dengan demikian dalam sebulan nilai konsumsi
daging perbulan rata rata mencapai 32.000 ton. Nilai pasar konsumsi
daging dalam sebulan jika harga daging sekarang minimal Rp 80.000 per
kg, maka setara dengan Rp 2,56 triliun atau Rp 30,72 triliun pertahun.
Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut, paling tidak memerlukan 3,8 juta sapi
dengan bobot kotor minimal 200 kg. Sementara itu, sapi lokal sangat
sulit bisa memenuhi kualifikasi bobot seperti itu. Rata rata sapi lokal
hidup berbobot 180 kg per ekor.
Dengan demikian kita memerlukan
tambahan paling tidak 427.000 sapi. Total pertahun 4,3 juta sapi agar
kebutuhan daging nasional 384.000 ton bisa cukup terpenuhi.
Total
impor daging sapi tahun 2013 ditetapkan 80.000 ton atau 15 persen dari
total kebutuhan. Jumlah ini menurun dibandingkan kuota tahun 2012
sebesar 19 persen, tahun 2011 sebesar 35 persen dan tahun 2010 masih
diatas 50 persen. Tahun 2014, tahun dimana dicanangkan tercapainya
swasembada daging sapi, ternyata kementerian pertanian masih menargetkan
kuota impor daging sapi sebesar 10 persen dari total kebutuhan dalam
negeri.
Kebutuhan daging sapi ini sebagian besar diimpor dari tiga
negara, yakni Australia sebesar 75 persen, Selandia Baru sekitar 20
persen dan AS sebesar 5 persen.
Impor daging sapi, nilainya
sesungguhnya masih relatif kecil yakni sekitar Rp 3,2 triliun, jika
dibandingkan dengan impor hortikultura, yang nilainya setahun bisa
menembus Rp 18 triliun. Impor kedelai mencapai Rp 10 triliun setahun.
Tentu saja ini sebuah ironi, negara dengan ikon agraris mengimpor
kebutuhan pangan, baik daging daging maupun hortikultura dari negara
maju yang bukan petani.
Menjaga Ketahanan Pangan
Mahalnya harga
daging sapi dan kebutuhan akan impor daging sapi, semakin menegaskan
kembali tentang pentingnya menjaga ketahanan pangan. Menjaga ketahanan
pangan tidak hanya menyangkut produksi daging sapi saja, tetapi juga
menyangkut sistem tata niaga daging sapi.
Masalah tata niaga ini juga
sangat penting dan perlu perhatian pemerintah. Sebagaimana disampaikan
Menteri Pertanian Suswono, harga daging sapi lokal melambung karena
kendala biaya mahal transportasi. Pasokan daging di Jakarta sebenarnya
bisa dipenuhi dari hewan ternak yang ada di Nusa Tenggara Timur (NTT)
atau Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun karena ongkos transportasi dari
sana ke Jakarta lebih mahal dibanding mendatangkan daging dari Darwin,
Australia, maka pemerintah lebih memilih untuk mengimpornya. Oleh
karenanya, akan lebih murah mendatangkan daging impor dibandingkan
mendatangkan dari wilayah Indonesia.
Pada sisi lain, importir daging
juga perlu ditertibkan agar pasokan daging tidak terganggu. Hal ini bisa
kita simak dari kenaikan daging yang sudah terjadi sejak pertengahan
November sampai menimbulkan mogok dikalangan pedagang. Padahal saat itu
permintaan masih normal karena belum ada lonjakan permintaan menghadapi
natal dan tahun baru. Sementara itu, pasokan daging lokal juga tidak
terganggu. Oleh sebab itu, kenaikan harga yang tiba tiba itu menimbulkan
pertanyaan yang harus dijawab oleh pemerintah untuk dicarikan solusi
secepatnya.
Dalam upaya mengatasi masalah kebutuhan daging dalam
negeri, pemerintah perlu memperbaiki data statistic kebutuhan konsumsi
daging dan kemampuan penyediaan daging lokal.
Berdasarkan sensus sapi
oleh Badan Pusat Statistik pada Juni 2011, disebutkan terdapat 14,8
juta sapi potong ditangan peternak kecil diseluruh Indonesia. Jumlah
tersebut jauh diatas perkiraan sebelumnya yaitu 12,6 juta ekor.
Setelah
BPS mengumumkan resmi hasil sensus pada akhir Desember 2011,
kementerian pertanian kemudian memangkas kuota 2012 impor daging sapi
dan sapi bakalan hingga separuhnya. Ada keyakinan, jumlah ternak lokal
mencukupi dalam memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Tujuan
pemerintah memangkas kuota impor ini adalah untuk memenuhi target
swasembada pangan seperti daging sapi agar tercapai pada 2014.
Memang
harus kita sadari bahwa meskipun jumlah sapi dalam negeri cukup untuk
memenuhi kebutuhan pasar, namun struktur pasar kita juga tidak efisien.
Sebab pengadaan daging sapi ini lebih banyak diusahakan oleh sistem
peternakan rakyat yang bersifat informal dan tidak semata mata untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi daging.
Sebagian besar peternak sapi ini
juga menjadikan sapi sebagai aset mereka untuk masa depan, sehingga
tidak bisa sewaktu waktu di potong untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Mereka baru menjual dan memotong daging sapi tatkala ada kebutuhan
mendesak.
Belum lagi peternak sapi lokal yang umumnya bersifat
tradisional dan kecil, dengan lokasi yang tersebar di segala penjuru
sehingga bisa menyebabkan biaya logistik untuk pengadaan daging menjadi
mahal.
Namun yang harus di tuntaskan pemerintah adalah menjaga
ketahanan pangan termasuk daging sapi agar segera terwujud, agar
perekonomian kita tidak tergantung impor dan menumbuhkan peternak sapi
lokal yang jumlah sangat banyak sebagai bagian dari upaya mewujudkan
kesejahteraan rakyat.
Pemerintah harus menumbuh kembangkan peternal
lokal yang umumnya kecil kecil dan diusahakan secara tradisional, pada
sisi lain pemerintah juga harus menumbuhkan peternak lokal menjadi kuat
yang diusahakan secara lebih modern.
Oleh Aunur Rofiq
Praktisi Bisnis Pertambangan dan Perkebunan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar